Kamis, 18 Desember 2014

Tahammul Wal Ada’



BAB II
PEMBAHASAN
Tahammul Wal Ada’
1. Pengertian at-Tahammul wa al-Ada’ al-Hadist (Transformasi Kitab Hadis)
a.    At-Tahammulal-Hadist
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
                                                                    التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ  
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b.    Al-ada’al-Hadits
Al-Ada’ Al-Hadits secara etimologis berarti sampai dan melaksanakan. Jadi pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
                                                                                                      أَدَى- يَأْدِى- أَدَاءً إيصال الشيئ إلى المرسل إليه
 “menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
                                                                              أدى- تأدية الشيئ : أوصله
 “Menyampaikannya”.
Bararti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
                                                                                الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
2. Syarat-syarat Tahammul wal Ada’ al-hadis
a.       Syarat-syarat Tahammulul-Hadits
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1)             Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
2)             Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
3)             Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
4)             Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
1)      Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
2)      Berakal sempurna.
3)      Tamyis.
Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal “seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar”. Kalau menurut penulis seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara  kambing dan anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya “kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal”. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah “pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar”.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya  yang menerima hadits walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadits dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi  dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits.
Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits karena untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber hukum islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.
Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh.
b.    Syarat-syarat Al-Ada’ul-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi).
Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
1)      Islam
2)      Balig
3)      Berakal
4)      Takwa
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits seperti diungkapkan al Zanjani lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolak ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
3.    Sighat Tahammul Wa Ada’ al-Hadist dan Implikasinya Terhadap-Persambungan Sanad
1. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad
          Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu:
          a. Al-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi).
Menurut mayoritas ahli hadits sima’ merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafadz berikut:

سمعت , حدثنى, أخبرنى , أنبأنى
قال لى فلان.

Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafadz سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafadz حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafadz tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadz diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
          b. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh)
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel.
Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil
c.  Al-Ijazah
            Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
          d. Al-Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah.
Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
Ø  Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
Ø  Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”.
Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
            e. Al-Mukatabah (menulis)
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-I’lam as-Syaikh
Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
g. Al-Washiyat
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara washiyat.
Washiyat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.
Al-Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه.
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan: “Bahwa ketika perawi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1)             Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2)             Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata

قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3)             Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah

أجازنى فلان, أنبأنى

4)             Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah

ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5)             Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:

كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة

6)             Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:

أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام

Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:

أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية

7)           Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
4. Macam-macam cara meriwayatkan hadits (Al-Ada’)
a)   Riwa>yat al-Aqran       
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatan ini disebut riwayatul Aqran.
Faedah mengetahui riwayat ini adalah agar jangan dikira bahwa pada hadits tersebut terdapat kelebihan sanad.
b)   Riwa>yat al-Mudabbaj                       
Apabila masing-masing mereka yang seteman tersebut, saling meriwayatkan maka periwayatkan yang sedemikian itu disebut riwayatul mudabbaj. Riwayatul mudabbaj lebih khusus dari riwayatul Aqran sebab setiap riwayatul  mudabbaj termasuk riwayatul Aqran, tetapi tidak setiap riwayatul Aqran termasuk riwayatul mudabbaj.
Faedahnya adalah untuk menghindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi yang sekawan tersebut adalah karena silap.
c)   Riwa>yat al-Akabbir ‘Ani’l al-shaghi>r
Adalah periwayatan hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.
Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan orang, bahwa sang guru itu lebih pintar daripada muridnya. Padahal tidak tentu demikian.
d)   Riwa>yat al-Shahabah ‘an al-Tabi’in ‘anish-shahabah
Adalah periwayatan seorang sahabat yang diterima dari seorang tabi’in, sedangkan tabi’in ini menerima dari seorang sahabat pula.
e)   Riwayat al-Sabiq dan al-Lahiq
Apabila dua rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut dengan riwayatul Sabiq. Sedangkan riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul lahiq.
Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang atau untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits. 





DAFTAR PUSTAKA
http://referensiagama.blogspot.com 
http//ulumulhadits//com : 
Mahmud Thohan, 1985, terjemah Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain, hlm. 156
b.      ibid:hlm 156
c.       Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, hlm. 137
d.      Ibid:137
e.       H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I.hlm.85
f.       Ibid:156
g.       Ibid:156
http://cara meriwayatkan hadis :
a.       Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis.
b.      Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif.
c.       Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
d.      http://referensiagama.blogspot.com
e.       http://cara menerima riwayat
f.       http://syarat-syarat perawi
s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar