Selasa, 16 Desember 2014

SUMBER AQIDAH ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Sumber Akidah Islam
Salah satu ciri manhaj (jalan) yang lurus adalah manhaj yang memiliki kesamaan mashdar (sumber) pengambilan dalil dalam masalah agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah. Hal ini berlaku kapan dan dimana pun kaidah tersebut digunakan. Tidak ada kesimpangsiuran pemahaman akidah pada setiap zaman dalam manhaj tersebut. Dari zaman Rasulullah saw. hingga zaman sekarang dan sampai kapan pun, prinsip akidah yang benar tidak pernah berubah. Jika ada perubahan dalam hal akidah, tentu agama ini belumlah sempurna. Prinsip inilah yang digunakan oleh para ulama dalam memahami dan menjaga syariat islam.
1.      Al-Quran sebagai Sumber Akidah
Sumber aqidah islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apa saja yang disampaikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah saw. dalam sunnah-nya wajib diimani (diyakini dan diamalkan). Dalam sebuah Hadis disebutkan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَصِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ و سُنَّةَ و رَسُوْلِهِ
Artinya:
Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad yang merupakan mu’jizat utama dan sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini dibuktikan oleh gaya bahasa, isi serta keluarbiasaan caranya diwahyukan, diajarkan, oleh keselarasannya dengan kebenaran di masa lampau, di masa sekarang dan di masa yang akan datang oleh sifat-sifatnya yang transenden, karena di dalamnya tidak didapati kesan seorang tertentu atau jaman yang khas di muka bumi ini. Al-Qur’an merupakan suatu kenyataan yang kekal dan abadi yang tidak akan berubah-ubah dan akan selalu merupakan bahan perenungan yang mengagumkan bagi seluruh ummat manusia
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a - yaqra’u – qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur dikatakan al-Qur’an, karena ia berisikan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman dalam QS. Al-Qayyimah(75) ayat 17-18 :  
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ فَإِذَا قَرَأْنـَهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
Terjemahnya:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”.
Menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefenisikan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan berbahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya Ushul al-Fiqh, al-Qur’an adalah:
ألقرآن هو كلام الله الذي نزل به الروح الامين على قلب رسول الله محمد بن عبد الله بالفاظه العربية و معانيه الحقة ليكون حجة للرسوله على أنه رسول الله و دستور للناس يهتدون بهداه و قربة يتعبدون يتلاوته
Terjemahnya:
Al-Qur’an itu ialah kalam Allah yang telah diturunkan oleh malaikat jibril kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdulla, dengan lafaz bahasa Arab dan dengan artinya benar, supaya menjadi hujjah bagi Rasul bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Allah, dan supaya menjadi undang-undang bagi manusia yang mana orang-orang dapat mengambil petunjuk dari petunjuknya, serta supaya menjadi qurbah (pengabdian), yang mana orang bisa ibadah dengan membacanya”.

Al-Qur’an itu adalah undang-undang ilahi yang diwahyukan-Nya kepada Rasulullah saw. melalui perantaraan malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia agar dijadikan pedoman tuntunan di dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber pokok ajaran Islam, memberikan dasar yang fundamental terhadap tatanan hidup manusia. Kesempurnaan ajarannya menyentuh dan menyinari seluruh aspek kehidupan manusia dari masa ke masa, sampai akhir zaman, sehingga dapat memberikan respon positif terhadap setiap persoalan kehidupan dan tantangan zaman. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah swt. yang terakhir menjadi rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia, sebab al-Qur’an menegaskan bahwa ajaran-ajarannya selalu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan manusia dalam kancah kehidupannya. Ia cocok dengan fitrah manusia (the nature of human being). Sesudah prinsip tauhid (keesaan Tuhan) maka prinsip ajaran al-Qur’an adalah amar ma’ruf nahi munkar, yaitu perintah menegakkan kebaikan dan keadilan, menghalalkan yang baik dan mengharamkan segala yang keji dan berbahaya.
Kesempurnaan al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam, ayat-ayat yang dikandungnya itu memiliki dua macam sifat yaitu ayat muhkamat dan mutasyabihat. Muhkamat adalah ayat yang mengandung arti, tujuan, sebab yang tegas dan tepat. Sedangkan ayat mutasyabihat, selain dalam arti harfiah-nya, juga membutuhkan ta’wil dan tafsir (interpretasi).
Al-Qur’an merupakan sumber utama aqidah islam, mengajarkan peraturan-peraturan yang memiliki 3 prinsip yang sangat penting, yaitu:
·         Tidak memberatkan. Islam datang untuk menghilangkan keberat-beratan yang meliputi manusia.
·         Sedikit saja mengadakan “ takalluf ” atau menyuruh dan melarang.
·         Prinsip berangsur-angsur dalam memberi syariat sesuai dengan psikologi kemanusiaan.
Akal fikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah, itupun harus disadari bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluq Allah. Akal tidak mampu menjangkau masalah-masalah ghaib, bahkan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut, dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal-hal ghaib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran.
2.      Sunnah
Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah swt. walaupun lafalnya bukan dari Allah, tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah:
يُوْحَيَّ وَحْيٌ هُوَ إِلاَّ يَنْطِقُ عَنْ الهَوَى إِن وَمَا
Terjemahnya:
Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan”.
Menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat, karena begitu banyaknya hadis lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadis yang shahih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw. dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela Sunnah-sunnah Rasulullah saw., dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga Sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahl al-Sunnah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka, agar tidak terseret ke dalam jurang penyimpangan. Selain melakukan penjagaan terhadap Sunnah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan Sunnah dalam menetapkan syariat, termasuk perkara aqidah, telah ditegaskan dalam banyak ayat al-Qur’an, diantaranya firman Allah dalam QS. Al-Hasyr: 7:
... وَمَا ءَاتـَـكُمُ الرَّسُوْل فَخُذُوهُ وَمَا نَهـَكُمْ عَنْهُ فَآنْتَهُوا
Terjemahnya:
Dan apa yang diberikan Rasul kapada kalian, maka terimalah dan apa yang ia larang, maka tinggalkanlah”.
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim, kecuali juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnu Qayyim juga pernah berkata “Allah emerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan al-Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara al-Qur’an dan Sunnah.
3.      Ijma’
Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad saw., setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu masalah ilmu, tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan ijma’, Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa: 115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُول مِنْ  بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ مِنِيْنَ المُؤْنُوَلِّهِ ما تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسآءَتْ  مَصِيْرًا
Terjemahnya:
Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenarannya baginya akan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya oarang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariyatkan Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti Ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkan secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul.
Di dalam pengambilan Ijma’, terdapat juga-juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus berdasarkan kepada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan al-Qur’an dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang zhanniy, sehingga menjadi qatha’iy.
4.      Akal
Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal, juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akalyang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia. Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu memahami ilmu dan kesempurnaan alam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja, ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an, ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan, ia akan menjadi sesuatu yang berunsur “kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa  yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera, maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau ghaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan  petunjuk wahyu baik dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya, adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka, karena tidak bisa diketahui melalui indera, akan tetapi, melalui penjelasan yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, tetapi  padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.


DAFTAR PUSTAKA
Mannan Audah, Aqidah Islamiyah, Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Anwar Rosihon, Akidah Akhlak, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar