BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sumber Akidah Islam
Salah
satu ciri manhaj (jalan) yang lurus adalah manhaj yang memiliki
kesamaan mashdar (sumber) pengambilan dalil dalam masalah agama,
khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah. Hal ini berlaku kapan
dan dimana pun kaidah tersebut digunakan. Tidak ada kesimpangsiuran pemahaman
akidah pada setiap zaman dalam manhaj tersebut. Dari zaman Rasulullah
saw. hingga zaman sekarang dan sampai kapan pun, prinsip akidah yang benar
tidak pernah berubah. Jika ada perubahan dalam hal akidah, tentu agama ini
belumlah sempurna. Prinsip inilah yang digunakan oleh para ulama dalam memahami
dan menjaga syariat islam.
1. Al-Quran sebagai Sumber Akidah
Sumber aqidah
islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apa saja yang disampaikan oleh Allah swt.
dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah saw. dalam sunnah-nya wajib diimani
(diyakini dan diamalkan). Dalam sebuah Hadis disebutkan:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَصِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ
و سُنَّةَ و رَسُوْلِهِ
Artinya:
“Aku tinggalkan
untuk kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian
tidak akan sesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”
Al-Qur’an adalah
kitab suci yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad yang merupakan
mu’jizat utama dan sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan
kehidupannya. Hal ini dibuktikan oleh gaya bahasa, isi serta keluarbiasaan
caranya diwahyukan, diajarkan, oleh keselarasannya dengan kebenaran di masa
lampau, di masa sekarang dan di masa yang akan datang oleh sifat-sifatnya yang
transenden, karena di dalamnya tidak didapati kesan seorang tertentu atau jaman
yang khas di muka bumi ini. Al-Qur’an merupakan suatu kenyataan yang kekal dan
abadi yang tidak akan berubah-ubah dan akan selalu merupakan bahan perenungan
yang mengagumkan bagi seluruh ummat manusia
Secara
etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a - yaqra’u – qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur
dikatakan al-Qur’an, karena ia berisikan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah
berfirman dalam QS. Al-Qayyimah(75) ayat 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ
فَإِذَا قَرَأْنـَهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”.
Menurut para
ulama klasik, al-Qur’an didefenisikan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan kepada Rasulullah dengan berbahasa Arab, merupakan mu’jizat dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Menurut Abdul
Wahab Khallaf dalam bukunya Ushul al-Fiqh, al-Qur’an adalah:
ألقرآن
هو كلام الله الذي نزل به الروح الامين على قلب رسول الله محمد بن عبد الله
بالفاظه العربية و معانيه الحقة ليكون حجة للرسوله على أنه رسول الله و دستور
للناس يهتدون بهداه و قربة يتعبدون يتلاوته
Terjemahnya:
“Al-Qur’an itu ialah
kalam Allah yang telah diturunkan oleh malaikat jibril kepada hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdulla, dengan lafaz bahasa Arab dan dengan artinya benar, supaya
menjadi hujjah bagi Rasul bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Allah, dan
supaya menjadi undang-undang bagi manusia yang mana orang-orang dapat mengambil
petunjuk dari petunjuknya, serta supaya menjadi qurbah (pengabdian), yang mana
orang bisa ibadah dengan membacanya”.
Al-Qur’an
itu adalah undang-undang ilahi yang diwahyukan-Nya kepada Rasulullah
saw. melalui perantaraan malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia
agar dijadikan pedoman tuntunan di dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber pokok ajaran Islam, memberikan
dasar yang fundamental terhadap tatanan hidup manusia. Kesempurnaan
ajarannya menyentuh dan menyinari seluruh aspek kehidupan manusia dari masa ke
masa, sampai akhir zaman, sehingga dapat memberikan respon positif terhadap
setiap persoalan kehidupan dan tantangan zaman. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah
swt. yang terakhir menjadi rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia, sebab
al-Qur’an menegaskan bahwa ajaran-ajarannya selalu sesuai dengan kepentingan
dan kebutuhan manusia dalam kancah kehidupannya. Ia cocok dengan fitrah manusia
(the nature of human being). Sesudah prinsip tauhid (keesaan Tuhan) maka
prinsip ajaran al-Qur’an adalah amar ma’ruf nahi munkar, yaitu perintah
menegakkan kebaikan dan keadilan, menghalalkan yang baik dan mengharamkan
segala yang keji dan berbahaya.
Kesempurnaan
al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam, ayat-ayat yang dikandungnya itu
memiliki dua macam sifat yaitu ayat muhkamat dan mutasyabihat. Muhkamat
adalah ayat yang mengandung arti, tujuan, sebab yang tegas dan tepat. Sedangkan
ayat mutasyabihat, selain dalam arti harfiah-nya, juga
membutuhkan ta’wil dan tafsir (interpretasi).
Al-Qur’an
merupakan sumber utama aqidah islam, mengajarkan peraturan-peraturan yang
memiliki 3 prinsip yang sangat penting, yaitu:
·
Tidak
memberatkan. Islam datang untuk menghilangkan keberat-beratan yang meliputi
manusia.
·
Sedikit saja
mengadakan “ takalluf ” atau menyuruh dan melarang.
·
Prinsip
berangsur-angsur dalam memberi syariat sesuai dengan psikologi kemanusiaan.
Akal
fikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash
yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan
membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah,
itupun harus disadari bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan
terbatasnya kemampuan semua makhluq Allah. Akal tidak mampu menjangkau
masalah-masalah ghaib, bahkan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang
tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Oleh sebab itu, akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib
tersebut, dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib
itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa
berita tentang hal-hal ghaib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal
pikiran.
2. Sunnah
Sunnah
adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah swt. walaupun lafalnya bukan
dari Allah, tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman
Allah:
يُوْحَيَّ
وَحْيٌ هُوَ إِلاَّ يَنْطِقُ عَنْ الهَوَى إِن وَمَا
Terjemahnya:
“Dan dia (Muhammad) tidak berkata
berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan”.
Menjadi
persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat, karena
begitu banyaknya hadis lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadis yang
shahih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang
bukan berasal dari Rasulullah saw. dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak
lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk
mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah
menjaga kemurnian Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan
membela Sunnah-sunnah Rasulullah saw., dari usaha-usaha penyimpangan. Ini
tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga
Sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam
meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahl
al-Sunnah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar
ilmu dari mereka, agar tidak terseret ke dalam jurang penyimpangan. Selain
melakukan penjagaan terhadap Sunnah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber
hukum dalam agama. Kekuatan Sunnah dalam menetapkan syariat, termasuk perkara
aqidah, telah ditegaskan dalam banyak ayat al-Qur’an, diantaranya firman Allah
dalam QS. Al-Hasyr: 7:
... وَمَا ءَاتـَـكُمُ الرَّسُوْل فَخُذُوهُ وَمَا نَهـَكُمْ
عَنْهُ فَآنْتَهُوا
Terjemahnya:
”Dan apa yang diberikan Rasul kapada
kalian, maka terimalah dan apa yang ia larang, maka tinggalkanlah”.
Firman
Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim,
kecuali juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari Sunnah dengan pemahaman
ulama. Ibnu Qayyim juga pernah berkata “Allah emerintahkan untuk mentaati-Nya
dan mentaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengulangi
kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara
independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan al-Qur’an, jika
beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada
pertentangan antara al-Qur’an dan Sunnah.
3. Ijma’
Ijma’
adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat
Muhammad saw., setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka
bukanlah orang yang sekedar tahu masalah ilmu, tetapi juga memahami dan
mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan ijma’, Allah swt. berfirman dalam QS.
An-Nisa: 115:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُول مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ مِنِيْنَ المُؤْنُوَلِّهِ ما
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسآءَتْ مَصِيْرًا
Terjemahnya:
“Dan barang siapa yang menentang
Rasul setelah jelas kebenarannya baginya akan mengikuti kebenaran baginya dan
mengikuti jalan bukan jalannya oarang-orang yang beriman, maka Kami akan
biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Imam
Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariyatkan Ijma’,
yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti Ijma’.
Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang
wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkan secara bersamaan dengan larangan
menyelisihi Rasul.
Di
dalam pengambilan Ijma’, terdapat juga-juga beberapa kaidah-kaidah
penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus
berdasarkan kepada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, karena perkara
akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan
wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan al-Qur’an dan Sunnah
serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang zhanniy,
sehingga menjadi qatha’iy.
4. Akal
Selain
ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam
sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya.
Termasuk pemuliaan terhadap akal, juga bahwa Islam memberikan batasan dan
petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang
tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akalyang memiliki keterbatasan dalam
memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama
Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
pelecehan terhadap kemampuan akal manusia. Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu memahami ilmu dan
kesempurnaan alam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna.
Hanya saja, ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai
sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika
mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an, ia seperti mendapatkan cahaya matahari
dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia akan mampu melihat (hakikat)
sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan, ia akan menjadi sesuatu yang berunsur
“kebinatangan”.
Eksistensi
akal memiliki keterbatasan pada apa yang
bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera, maka
tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak
atau ghaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali
mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu
baik dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan
kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah
satu contohnya, adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka,
karena tidak bisa diketahui melalui indera, akan tetapi, melalui penjelasan
yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah akan dapat diketahui bahwasanya setiap
manusia harus meyakininya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat
karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan
tidak ada kebatilan dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin
sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang
batil.
DAFTAR PUSTAKA
Mannan Audah, Aqidah Islamiyah, Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Anwar Rosihon, Akidah Akhlak, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar